Pendidikan Pluralisme
Apakah
sebenarnya pluralisme itu? kalau melacak dari beberapa sumber, dapatlah
didefenisikan bahwa pluralisme adalah sebuah paham tentang pluralitas. Paham,
bagaimana melihat keragaman dalam agama-agama, mengapa dan bagaimana memandang
agama-agama, yang begitu banyak dan beragam. Apakah hanya ada satu agama yang
benar atau semua agama benar.
Pengakuan
terhadap pluralisme agama dalam suatu komunitas umat beragama menjanjikan
dikedepankannya
prinsip inklusifitas yang bermuara pada tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai
kemungkinan unik yang bisa memperkaya usaha manusia dalam mencari kesejahteraan
spritual dan moral. Gagasan bahwa manusia adalah satu umat, seperti ini menurut
Sachedina “merupakan dasar pluralisme teologis yang menuntut adanya kesetaraan
hak yang diberikan Tuhan bagi semua. Manusia tetap merupakan “satu bangsa”
berdasarkan kemanusiaan yang sama-sama mereka miliki. Karena itulah diperlukan
suatu “etika global” yang bisa memberikan dasar pluralistik untuk memperantarai
hubungan antar agama di antara orang-orang yang memiliki komitmen spritual
berbeda”.
Dengan
menyadari bahwa masyarakat kita terdiri dari banyak suku dan beberapa agama,
jadi sangat pluralis. Maka, pencarian bentuk pendidikan alternatif mutlak
diperlukan. Yaitu suatu bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan
suatu masyarakat dan mentransfernya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan akan tata
nilai, memupuk persahabatan antara siswa yang beraneka ragam suku, ras, dan
agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta mengerjakan keterbukaan dan
dialog. Bentuk pendidikan seperti inilah yang banyak ditawarkan oleh “banyak
ahli” dalam rangka mengantisipasi konflik keagamaan dan menuju perdamaian
abadi, yang kemudian terkenal dengan sebutan “pendidikan pluralisme”.
Apakah
sebenarnya pendidikan pluralisme itu? Kalau kita melacak referensi tentang
pendidikan pluralisme, banyak sekali literatur mengenai pendidikan tersebut
atau sering dikenal orang dengan sebutan “pendidikan multikultural”. Namun
literatur-literatur tersebut menunjukkan adanya keragaman dalam pengertian
istilah. Sleeter (dalam Burnet, 1991: 1) mengartikan pendidikan multikultural
sebagai any set of proces by which
schools work with rather than against oppressed group. Banks, dalam bukunya Multicultural education: historical development, dimension, and
practice (1993) menyatakan bahwa meskipun tidak ada konsensus tentang itu
ia berkesimpulan bahwa di antara banyak pengertian tersebut maka yang dominan
adalah pengertian pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color.
Perlunya Pendidikan Pluralisme
Pendidikan
pluralisme yang disampaikan Frans Magnez Suseno (dalam Suara Pembaharuan, 23
September, 2000), yaitu suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka
visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau
tradisi budaya dan agama kita sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai
sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Inilah
pendidikan akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan,
dan solidaritas.
Senada dengan
itu, Ainurrofiq Dawam menjelaskan defenisi pendidikan multikultural sebagai
proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya etnis, suku, dan aliran
(agama). Pengertian pendidikan multikultural yang demikian, tentu mempunyai
implikasi yang sangat luas dalam pendidikan. Karena pendidikan itu sendiri
secara umum dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat.
Dengan demikian , pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan
penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia darimana
pun dia datangnya dan berbudaya apa pun dia. Harapannya, sekilas adalah
terciptanya kedamaian yang sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan,
kesejahteraan yang tidak dihantui
manipulasi, dan kebahagiaan yang terlepas dari jaring-jaring manipulasi
rekayasa sosial.
Muhammad Ali
(dalam Kompas, 26 April 2002) menyebut pendidikan yang berorientasi pada proses
penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama sekaligus berwawasan
multikultural, seperti itu, dengan sebutan “pendidikan pluralis multikultural”.
Menurutnya, pendidikan semacam itu harus
dilihat sebagai bagian dari upaya komprehensif mencegah dan menanggulangi konflik etnis
agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa, sedangkan nilai
dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi.
Memperhatikan
beberapa defenisi tentang pendidikan pluralisme tersebut di atas, secara
sederhana dapatlah pendidikan pluralisme didefenisikan sebagai pendidikan
untuk/tentang keragaman keagamaan dan kebudayaan dalam merespon perubahan
demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan. Pendidikan disini, dituntut untuk dapat merespon terhadap
perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak
bagi setiap kelompok.
Al-Qur’an dalam memberikan pendidikan kesadaran terhadap
pluralisme agama terhadap umat manusia diantaranya tampak dari sikap-sikapnya
sebagai berikut :
1.
Mengakui eksistensi agama lain “Dan kalau
menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah
menyesatkan siapa yang di kehendaki-Nya dan memberi petujuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu
kerjakan”. (Q.S. An-Nahl 16 : 93)
2.
Memberinya hak untuk hidup berdampingan saling
menghormati pemeluk agama lain “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan
yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan tiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali
mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.(Q.S.
Al-An’am 6:108)
Dalam Surat Al-Kafirun :
“Bagimu agamamu dan
bagiku agamaku”(Q.S. Al-Kaafiruun 109 : 6)